Toponimi: Asal-Usul Kabupaten Rembang

Asal-Usul Kabupaten Rembang

     Adanya sebuah peradaban besar di masa sekarang tentunya memiliki sejarah panjang di masa lalu. Rembang, sebuah kota kecil pesisir pantai utara yang memiliki beragam cerita sejarah dan budaya, tentunya juga memiliki sejarah uniknya tersendiri berkaitan dengan asal-usul namanya. Rembang sendiri merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora  di selatan, dan Kabupaten Pati di barat.
     Perlu diketahui bahwa daratan Rembang sudah ada sebelum Pulau Jawa terbentuk. Karena sebelumnya (ribuan tahun yang lalu), Pulau Jawa terdiri dari beberapa pulau dimana di pulau-pulau tersebut terdapat gunung-gunung besar yang meledak kemudian menyatukannya menjadi satu pulau, yaitu Pulau Jawa. Peta Jawa pada zaman dahulu adalah Peta jawa Dwipa. Kata "Dwipa" berasal dari kata "Dwi" yang berarti "Dua" dan kata "Pa" yang berarti "Purwa dan Pegon". Karena, Pulau Jawa dibedakan menjadi dua wilayah, diantaranya adalah Wilayah Purwa dan Wilayah Pegon. Wilayah Purwa adalah yang sekarang Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Sedangkan, wilayah Pegon adalah wilayah sekitar Malang hingga Banyuwangi. Kota-kota yang sekarang berbatasan dengan Rembang di sebelah Timur, seperti Tuban, Jombang, Kediri, dan lainnya baru terbentuk setelah Pegunungan Kendheng meletus dan lavanya mengalir lalu menyatukan pulau-pulau tersebut.
       Pegunungan Kendheng sendiri ada dua, yaitu Pegunungan Kendheng Selatan (Kendheng Tua) dan Pegunungan Kendheng Utara (Nusa Kendheng). Wilayah Kendheng Selatan (Kendheng Tua) dimulai dari Pegunungan Kabuh, Kabupaten Jombang hingga Pegunungan Masaran, Kabupaten Sragen yang dihuni oleh Wong Legena yang kehidupannya masih primitif--belum berpakaian, berburu, belum berani tidur di goa, dan ketika meninggal bangkainya ditinggal begitu saja yang akan dimakan oleh hewan buas. Sedangkan, wilayah Kendheng utara (Nusa Kendheng) pada masanya masih berupa tiga pulau besar yang dihuni oleh Wong Suku Lingga yang kehidupannya masih lugu namun sedikit berkemajuan, seperti berani tidur di goa, berpakaian dari daun waru, dan tata budaya bekerja. Hingga pada suatu ketika orang-orang Brunei--sejatinya dari Tanah Yunan (sebuah daratan di China) yang dilanda wabah penyakit, bermigrasi ke Kalimantan, lalu ke Nusa Kendheng, tepatnya di Pandangan (sekarang sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang).  Di bumi itulah awal mulanya orang sampit menetap dan menjadi cikal bakal bangsa baru yang disebut Wong Jawa. Pada Akhirnya, Nusa Kendheng diganti nama menjadi Tanah Jawi dengan kata Jawi yang berarti banteng betina yang disakralkan oleh Orang Lingga. Pun, dengan penghuninya, tidak lagi Suku Sampit, namun berubah, menjadi Suku Jawa.
   Sejarah asal usul nama Rembang memiliki versinya sendiri-sendiri. Mulai dari kata ngrembang yang berati mbabat (memangkas;menebang) yang ditokohi oleh Pangeran Santipuspa dan pengikutnya hingga kata Rembang itu sendiri yang berarti kerem lan kemambang yang diperankan oleh Sunan Bonang dan Dampo Awang beserta pengikutnya.
     Semua bermula ketika pada sekitar tahun 1336 Masehi, datanglah orang-orang campa ke Indonesia. Mereka adalah delapan keluarga yang pandai membuat gula tebu. Berangkat melalui lautan menuju ke barat hingga mendarat di sekitar sungai yang kiri kanannya ditumbuhi pohon bakau. Sehingga, ketika sampai disini, mereka membabat tebu-tebu di setiap fajar. Dimana sebelumnya, dilakukan upacara suci sembahyang dan semedi di tempat tebu serumpun yang akan di kepras/di pangkas dua pohon, untuk tebu Penganten. Upacara pengeprasan itu dinamakan ngrembang sakawit. Begitu tadi asal mulainya kata ngrembang yang sampai di jadikan nama Kabupaten Rembang.
     Dalam versi lain yang hampir sama menceritakan, bahwa pada suatu masa pemerintahan Badranala (Bupati Lasem), dia menikah dengan Bi Nang Ti (Putri Campa). Mereka memiliki dua anak, yaitu Wirabraja dan Santibadra. Wirabajra menikah dan memiliki anak Wiranegara. Sedangkan, Santibadra menikah dan memiliki banyak anak, salah satunya adalah Santipuspa. Santipuspa tumbuh besar dan memimpin Kadipaten Lasem. Pada masa pemerintahan Pangeran Santipuspa, Kadipaten Lasem (sekarang Kecamatan Lasem) rakyat hidup makmur. Kemudian, Pangeran Santipuspa berkeinginan untuk memperluas wilayah Lasem dengan mengutus Raden Panji Singo Patoko untuk memimpin pembukaan lahan (mbabat/ngrembang). Raden Panji Singo Patoko bekerja dengan baik, karena berhasil memimpin rombongannya untuk membabat hutan menjadi pemukiman hingga ke wilayah Sulang (salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang yang cukup jauh dari Lasem). Pangeran Santipuspa merasa berhutang padanya, karena wilayah Lasem menjadi sangat luas. Oleh karenanya, dinikahkanlah Raden Panji Singotoko dengan adik Pangeran Santipuspa, Dewi Sulanjari. Lalu, pada tahun 1472 Pangeran Santipuspa memanggil lagi Raden Panji Singotoko untuk kembali membabat hutan di sebelah barat daya. Dapat dilihat dalam versi kedua ini juga menceritakan asal kata  Rembang bermula dari kegiatan ngrembang/mbabat hutan oleh utusan Pangeran Santipuspa.
  Sedangkan, untuk versi lain yang diperani Oleh Sunan Bonang dan Dampo Awang menceritakan, bahwa saat itu ada seorang pedagang sekaligus pelaut tersohor yang datang dari Cina bernama Dampo Awang untuk menyiarkan agamanya. Kabar ini sampai ke Sunan Bonang selaku sesepuh di Lasem. Karena banyak mendengar keluhan dari banyak warga dan santrinya mengenaik sikap Dampo Awang yang congkak dan terkesan semena-mena terhadap rakyat setempat, maka Sunan Bonang pun mengunjungi kediaman Dampo Awang dan bermaksud untuk menannyakan hal tersebut. Sesampainya disana, Sunan Bonang dan Dampo Awang mulanya mengobrol dengan baik, namun setelah Dampo Awang mengetahui maksud Sunan Bonang datang untuk mengklarifikasi sikapnya kepada rakyat setempat yang terbilang jelek, Dampo Awang merasa tersinggung. Kemudian, di suatu hari mereka berperang dengan membawa pasukan dan senjatanya masing-masing. Peperangan di antara mereka terlihat imbang karena sama-sama sakti, walaupun dari santri Sunan Bonang banyak yang meninggal. Namun, ketika Sunan Bonang mengeluarkan aji-aji kanoragannya dan tepat mengenai kapal Dampo Awang, hancurlah kapal itu dan berhamburan jauh sekitar 15 km ke arah barat. Layarnya membatu kini menjadi bukit layar/watu layar di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, jangkarnya yang besar terpental sampai Taman Kartini, tiang kapalnya menancap dekat Pasujudan Sunan Bonang di Desa Bonang, dan lambung kapalnya tengkurap menjadi gunung bugel (lereng gunung Lasem) antara Lasem dan Kecamatan Pancur.
       Karena tidak ada yang menang ataupun kalah, mereka memberhentikan perang dan bertaruh untuk menebak apakah jangkar Dampo Awang akan kerem (tenggelam) atau kemambang (terapung). Dampo Awang menebak bahwa jangkar itu akan kerem dan Sunan Bonang sebaliknya. Akhirnya, mereka bersamaan mengucap kerem kemambang dan jangkar itu ternyata kemambang. Maka, Dampo Awang dan pasukannya kalah dan harus bersedia untuk pindah dari wilayah tersebut. Dalam hati, Sunan Bonang berkata, "Wewengkon kang jembar pinggir segara nanging isi kebak alas iki tak wenehi aran Rembang supaya ing reja-rejaning jaman wong bisa ngerti bilih ana prastawa kang gedhe ing jamanku iki." (Wilayah yang luas pinggir laut namun masih berhutan lebat ini aku beri nama Rembang supaya ketika peradaban mulai ramai, orang-orang bisa tahu bahwa ada kejadian yang besar di zamanku ini).
      Dari beberapa versi di atas, hipotesa yang dapat diambil adalah bahwa kegiatan ngrembang/mbabat oleh orang-orang campa berkaitan dengan Pangeran Santipuspa yang mengutus Raden Panji Singotoko untuk membuka lahan dan peperangan Sunan Bonang dengan Dampo Awang. Karena, ketika melihat kembali silsilah Pangeran Santipuspa dimana Neneknya adalah Bi Nang Ti, yang merupakan seorang Putri Campa, maka dapat diduga Putri campa termasuk salah satu di antara kedelapan keluarga campa yang datang ke Nusantara. Kemudian mengenai Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel dan adik dari Putri Maloka (istri Wiranegara). Sementara itu, Wiranegara adalah sepupu Pangeran Santipuspa. Jadi, hubungan antara Pangeran Santi Puspa dengan Sunan Bonang adalah kakak beradik sepupu ipar. Perlu diketahui bahwa Wiranegara memerintah Kadipaten Lasem bagian Bonang dan Santipuspa memerintah bagian Kriyan.  Ketika Wiranegara wafat pada tahun 1482 Masehi, Putri Maloka meminta adiknya, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) untuk memimpin Kadipaten Lasem di Bonang. Sehingga dapat diambil dugaan kesimpulan, bahwa asal usul nama Rembang bisa berasal dari kegiatan ngrembangnya orang campa dimana yang dimaksud adalah Pangeran Santipuspa dan pengikutnya dan bisa juga dari kerem kemambang jangkarnya Dampo Awang yang menjadi taruhan antara Dampo Awang dan Sunan Bonang. 
   Kemudian, kejadian ngrembang dan pertaruhan kerem kemambang berada di masa yang berdekatan, yaitu tahun 1472 dimana Pangeran Santipuspa mengutus Raden Pandu Singotoko untuk kembali membabat hutan dan tahun 1484 ketika pangeran Wiranegara wafat dan Sunan Bonang menggantikannya untuk memerintah di Kadipaten Lasem. Sehingga, asal-usul nama Kabupaten Rembang berasal dari dua versi cerita yang sebenarnya memiliki kaitan yang cukup erat.


Gambar:
 Jangkar Dampo Awang di Taman Kartini (sekarang Dampo Awang Beach), Rembang
 Makam Pangeran Santipuspa, Caruban, Lasem
Watu Layar, Binangun, Lasem
 Makam Sunan Bonang, Bonang, Lasem
Pasujudan Sunan Bonang, Bonang, Lasem


Referensi:
Buku"Sejarah Kawitane Wong Jawa lan Wong Kanung"
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Rembang
https://rembangkab.go.id/uncategorized/mengungkap-sejarah-rembang/
http://www.kuwaluhan.com/2017/09/sejarah-asal-usul-berdirinya-kabupaten_5.html?m=1
http://wiyonggoputih.blogspot.com/2015/03/babad-rembang-dan-perjuangan-raden-panji.html?m=1
Sumber gambar:
Woroluvpink.wordpress.com
Walisembilan.com
Ganaislamika.com
Nurfmrembang.com
Palebon-igustingurahsukahet.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

SWEAT AND SCENARIO

Perjalanan Seorang Sholahayub - Antara Berkarya, Ibadah, dan Syukur

Teman dalam Benak