Sedih tak Butuh Suara


Kayu mulai lapuk, besi berkarat.




Manusia tak bisa bila diminta untuk selalu tampil bahagia dan penuh kekuatan serta semangat. Ada hati yang kadang perlu ditemani. Ada rasa di dalamnya. Rasa yang diciptakan dari persepsi dalam diri, lingkungan, hingga orang-orang terdekat. 

Sedih bukanlah suatu kesalahan. Karena memang ada kalanya kita bahkan harus sedih untuk penguatan diri yang lebih baik. Segalanya ditentukan apa reaksi diri dan lingkungan ketika sedih. Diri serta pikiran-pikiran di dalamnya harus membuat batasan agar kesedihan tak berlarut-larut menjadi hal yang tak diinginkan. Lingkungan? Berkenan untuk menemani saja sudah lebih dari cukup. 

Temani, terima, dan dengarkan kodisi perasaannya, dia tak butuh lebih. Memaksanya untuk tetap tersenyum hanya bagaikan mendempul jerawat dengan lusinan bedak tabur, ia tak bisa. Dekap dan peluk  hingga bahagia muncul dengan alaminya. Ketika lingkungan bahkan orang-orang terdekat saja terasa tak ada yang acuh, bagaimana dia bisa kembali berjalan tegap? 

Yang terdalam lalu berbisik, “Kemarilah, betapa sepi disini, temani aku, dengarkan keluhku, jangan kau elak, jangan kau potong ceritaku, jangan berkata-kata jika kau ingin aku lekas pulih”. Jadi, masih salahkah sedih? Jika ia hanya butuh hadirmu.

Comments

Popular posts from this blog

SWEAT AND SCENARIO

Perjalanan Seorang Sholahayub - Antara Berkarya, Ibadah, dan Syukur

Teman dalam Benak